Politik Hukum Perburuhan Indonesia
Latar Belakang
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai peraturan tertinggi di Negara kita, telah menjamin
hak dasar warga Negara dalam hal penghidupan yang layak sesuai dengan derajat kemanusiaan.
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 27 ayat (2), yang menyebutkan secara jelas
bahwa, “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”.
Memaknai pasal ini tentu saja sangat
sederhana, bahwa segala bentuk pekerjaan serta pemenuhan kehidupan setiap warga
Negara harus diletakkan pada standar kemanusiaan yang berlaku secara universal.
Ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) ini kemudian dipertegas dalam Pasal 28D ayat
(2) yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Hal ini sejalan dengan
prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia,
khususnya Pasal 23 ayat (1) yang mengatakan bahwa, “Setiap orang yang bekerja
berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan
kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan
jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya”.
Ketidakberdayaan Negara
Permasalahan kemudian muncul dan
berkembang ketika implementasi atau pelaksanaan pemenuhan hak atas penghidupan
yang layak, tidak berjalan dengan baik sesuai dengan harapan. Hak atas
penghidupan yang layak, termasuk didalamnya menyangkut sistem pengupahan yang adil,
menjadi sulit terpenuhi akibat ketidakberdayaan Negara dihadapan para pemodal
dan pengusaha.
Persoalan pokok dalam sistem
pengupahan di Indonesia, tidak hanya menyangkut praktek politik upah murah yang
terjadi sejak dulu hingga sekarang. Namun persoalan pengupahan juga terjadi
dalam hal pelanggaran akan kewajiban pengusaha dalam memberikan imbalan (baca :
upah) bagi para buruh sesuai dengan standar upah minimim yang telah ditentukan.
Negara yang sepatutnya bertindak
sebagai pihak yang harus memastikan hak atas upah yang adil dan layak tersebut,
terkesan lalai akan kewajibannya. Negara justru tunduk dan diam terhadap
praktek ketidakadilan dalam pemenuhan hak upah yang adil dan layak bagi buruh.
Baik dalam posisi Negara yang tetap mempertahankan tradisi politik upah murah
yang menyengsarakan kehidupan buruh, maupun upaya pembiaran yang dilakukan
Negara terhadap pengusaha-pengusaha bandel yang tidak memenuhi kewajiban
membayar upah sesuai dengan standar upah minimum yang telah diperintahkan
undang-undang.
Penantian Panjang
Keputusan Mahkamah Agung yang
menjatuhkan sanksi pidana kurungan 1 tahun penjara dan pidana denda sebesar 100
juta rupiah terhadap pengusaha yang membayar upah buruh dibawah ketentuan upah
minimum, tentu saja menjadi kabar yang menggembirakan. Dalam rentan waktu 10
tahun sejak berlakunya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, inilah pertama kalinya sanksi pidana dijatuhkan kepada
pengusaha yang tidak membayar upah buruh sesuai dengan upah minimum.
Seperti yang diberitakan, Mahkamah
Agung menjatuhkan vonis kasasi kepada Tjioe Christina Chandra, seorang
pengusaha asal Surabaya yang tidak membayar 53 orang pekerjanya sesuai dengan
standar upah minimum yang berlaku. Hakim
Majelis yang diketuai oleh Zaharuddin Utama dengan anggota Prof. Dr. Surya Jaya
dan Prof. Dr. Gayus Lumbuun tersebut tertuang dalam registrasi perkara nomor
687 K/Pid.Sus/2012.
Putusan kasasi Mahkamah Agung ini
berawal dari upaya banding Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Surabaya
yang sebelumnya justru memberikan vonis bebas bagi terdakwa pengusaha Tjioe
Christina Chandra. Putusan berbeda pada akhirnya diberikan oleh Mahkamah Agung.
Bahkan diberikan dengan suara bulat tanpa adanya perbedaan pendapat (dissenting
opinion) diantaranya para hakim majelis. Penantian panjang itu akhirnya
menemui titik terang, bahwa pengusaha yang menolak membayar upah buruhnya
sesuai dengan ketentuan, harus dipenjarakan tanpa syarat.
Kejahatan Kemanusiaan
Kasus pengusaha yang tidak membayar
upah buruh sesuai dengan standar upah minimum ini, tidak boleh dipandang
sepele. Ini jelas merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan yang sedang
dipertontonkan secara vulgar didepan mata kita. Kejahatan yang telah
berlangsung dalam tempo yang cukup lama dan tanpa mampu ditindak oleh Negara .
Dalam hal ini, Negara telah memperkosa peraturan yang dibuatnya sendiri, sebab
Negara diam dan bisu disaat pengusaha secara nyata mengabaikan kewajiban yang
telah diperintahkah oleh Undang-undang.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Pasal 90 ayat (1), disebutkan bahwa “Pengusaha dilarang
membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89”. Dalam Pasal 89 Undang-undang ini, yang dimaksud dengan upah minimum adalah
upah minimum baik yang berdasar wilayah maupun sektoral, yang ditetapkan oleh
Kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) dimasing-masing wilyahnya.
Secara yuridis berdasarkan ketentuan
Pasal 90 ayat (1) tersebut, dapat diartikan bahwa siapapun pengusaha yang
membayar upah buruh di bawah upah minimum, adalah tindak pidana kejahatan. Hal
tersebut dipertegas dalam Pasal 185 ayat (1) yang menyatakan bahwa, pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 90 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit 100 juta
dan paling banyak 400 juta.
Konsistensi Hukum
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, sebagai salah satu payung hokum dalam membangun hubungan industrial di
Indonesia, bisa dikatakan berjalan tanpa roh. Betapa tidak, sejak diundangkan
pada tahun 2003 silam, beragam ketentuan didalamnya tidak mampu
diimplemantasikan dengan baik oleh berbagai pihak Termasuk salah satunya adalah
konsistensi pemberian hukum pidana terhadap pengusaha yang menolak membayar
buruhnya sesuai dengan ketentuan upah minimum.
Norma yang tertuang dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak mampu
diterapkan dengan baik, khususnya menyangkut sanksi terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Walhasil, hukum
berjalan secara tidak konsisten. Artinya, Negara melalui Pemerintah sebagai
pihak yang bertanggung jawab dalam mengontrol dan mengawasi baik pelanggaran
maupun tindakan hukum terhadap pelanggaran tersebut, gagal dalam menjalankan
kewajibannya.
Akibat tidak konsistennya hukum
ditegakkan, jaminan sistem pengupahan yang berdasar kepada penentuan standar
upah minimum-pun menjadi terabaikan. Pengusahapun dengan leluasa dapat mengelak
dari tuntutan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan. Hal ini makin diperparah
oleh sikap Negara yang diam seribu bahasa ibarat orang-orangan sawah yang tidak
dapat melakukan apa-apa. Dan sekali lagi dalam hal ini, buruhlah yang
selalu menjadi korban. Buruhlah yang terbuang dari keringat dan jerih payahnya
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar